Jumat, 12 November 2010

Teknologi Informasi (TI)

Teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses globalisasi ini. Mulai dari wahana TI yang paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan telepon gengam dengan protokol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang.

Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka. Demikian juga peragaan busana di Paris, yang pada waktu hampir bersamaan bisa disaksikan dari Gorontalo, Sulawesi.

TI telah mengubah wajah ekonomi konvensional yang lambat dan mengandalkan interaksi sumber daya fisik secara lokal menjadi ekonomi digital yang serba cepat dan mengandalkan interaksi sumber daya informasi secara global. Peran Internet tidak bisa dipungkiri dalam hal penyediaan informasi global ini sehingga dalam derajat tertentu, TI disamaratakan dengan Internet. Internet sendiri memang fenomenal kemunculannya sebagai salah satu tiang pancang penanda kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Internet menghilangkan semua batas-batas fisik yang memisahkan manusia dan menyatukannya dalam dunia baru, yaitu dunia “maya”. Setara dengan perkembangan perangkat keras komputer, khususnya mikro-prosesor, dan infrastruktur komunikasi, TI di internet berkembang dengan kecepatan yang sukar dibayangkan. Konsep perdagangan elektronik melalui internet, yang dikenal dengan nama e-Commerce yang lahir karena perkawinan TI dengan globalisasi ekonomi belum lagi genap berusia lima tahun dikenal –dari fakta bahwa sebenarnya sudah ada sekitar 20 tahun yang lalu—ketika sudah harus merelakan dirinya digilas dengan konsepsi e-Business yang lebih canggih. Jika e-Commerce “hanya” memungkinkan seseorang bertransaksi jual beli melalui internet dan melakukan pembayaran dengan kartu kreditnya secara on-line, atau memungkinkan seorang ibu rumah tangga memprogram lemari-esnya untuk melakukan pemesanan saribuah secara otomatis jika stok yang disimpan di kulkas itu habis dan membayar berbagai tagihan rumah tangganya melalui instruksi pada bank yang dikirim dengan menekan beberapa tombol pada telepon genggamnya, maka dengan e-Business, transaksi ekspor impor antar negara lengkap dengan pembukaan LC dan model cicilan pembayarannya juga bisa dilakukan dengan wahana dan media yang sama.

Karena itu, wajar jika pemerintah negara-negara Asia, negara yang dianggap kurang maju, kini mulai secara resmi mendukung perkembangan TI setelah sekian lama diam-kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan perkembangan teknologi yang demikian cepat ini. Bagi Asia, yang saat ini sedang bekerja keras mengejar ketinggalan dari negara-negara maju dan pada saat yang sama mengalami perubahan sosial politik, keberadaan internet khususnya merupakan masalah yang pelik. Lebih buruk lagi, krisis ekonomi yang dialami Asia pada akhir tahun 90an menunda perkembangan TI di saat AS dan negara-negara Eropa sedang berkembang pesat dalam penggunaan teknologi itu.

Pertemuan Asian Regional Conference of the Global Information Infrastructure Commission (GIIC) di Manila pada bulan Juli 2000 menghasilkan rencana untuk membangun jaringan komunikasi, menyediakan perangkat pengakses informasi dari internet untuk masyarakat, menyusun framework penggunaan TI, membangun jaringan online-pemerintah, serta mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan daya saing Asia. Namun memang masih ada hambatan, terutama antara lain sumber daya yang terbatas, masih kakunya sistem pemerintahan, serta perbedaan sosial politik di antara negara-negara yang kini harus bekerjasama –yang bila gagal diatasi, akan tetap menempatkan Asia di pihak yang merugi. Salah satu tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah Asia yang disepakati dalam pertemuan GIIC itu adalah mempersiapkan hukum mengenai transaksi, kejahatan internet, merek dagang, hak cipta dan masalah lain.

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Tabloid Kontan On-line tanggal 9 Oktober 2000 yang mengutip IDC (Information Data Corporation), dana yang sudah dibelanjakan untuk kepentingan TI di Indonesia cukup besar. Tahun 2000 ini diperkirakan US$ 772,9 juta, naik dari US$ 638,4 juta tahun lalu. Jumlah ini belum termasuk investasi dotcom yang sempat bergairah obor-blarak dalam dua tahun terakhir. Dari US$ 772,9 juta itu, sebagian besar (57,7%) dibelanjakan untuk perangkat keras seperti PC dan notebook. Sebagian yang lain (14,4%) dibelanjakan untuk perangkat lunak. Seharusnya, angka untuk perangkat lunak ini jauh lebih besar daripada untuk perangkat kerasnya. Hal ini diduga keras karena di Indonesia tingkat pembajakan masih di atas 90%. Sementara dari 17 sektor yang membelanjakan uang untuk TI tadi, sektor yang paling banyak mengeluarkan uang adalah komunikasi & media (19,3%), diikuti oleh discreet manufacturing (16,9%), pemerintah (12,4%), dan perbankan (11,8%).

Globalisasi

Globalisasi adalah satu kata yang mungkin paling banyak dibicarakan orang selama lima tahun terakhir ini dengan pemahaman makna yang beragam. Namun, apa yang dipahami dengan istilah globalisasi akhirnya membawa kesadaran bagi manusia, bahwa semua penghuni planet ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja satu sama lain walau ada rentang jarak yang secara fisik membentang. Dunia dipandang sebagai satu kesatuan dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung satu sama lain dalam jaring-jaring kepentingan yang amat luas.Pembicaraan mengenai globalisasi adalah pembicaraan mengenai topik yang amat luas yang melingkupi aspek mendasar kehidupan manusia dari budaya, politik, ekonomi dan sosial. Globalisasi di bidang ekonomi barangkali kini menjadi kerangka acuan dan sekaligus contoh yang saat ini paling jelas menggambarkan bagaimana sebuah kebijakan global bisa berdampak pada banyak orang di tingkat lokal, sementara wacana globalisasi dalam hal yang lain mungkin tidak begitu mudah diamati secara jelas.

Contoh yang bisa diangkat mungkin adalah perdagangan internasional, kebijakan dana moneter internasional hingga ijin operasi perusahaan multi nasional yang menunjukkan bahwa mata-rantai-dampaknya pada akhirnya akan berakhir pada pelaku ekonomi lokal, baik positif maupun negatif. Desain globalisasi ekonomi sendiri misalnya, memang pada awalnya dinilai beritikad positif, yaitu menaikkan kinerja finansial negara-negara yang dianggap masih terbelakang secara ekonomi dengan melakukan kerjasama perdagangan dan kebijakan industri. Namun, dampak negatifnya ternyata tidak bisa dielakkan ketika penyesuaian kebijakan global itu tidak bisa dilakukan di tingkat lokal. Situasi menang-menang yang ingin dicapai berubah menjadi situasi kalah-menang yang tak terhindarkan bagi pelaku ekonomi lokal. Kasus fenomenal seperti yang tak kunjung usai, penjualan perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah baru-baru ini, atau kasus lain yang nyaris tidak terliput secara luas seperti hilangnya jutaan plasma nuftah di hutan dan Papua Barat, menunjukkan hal itu dengan jelas. Tentu masih ada banyak yang lain.

Maka, tidak heran apabila kemudian sebagian merasa bahwa isu globalisasi berhembus ke arah negatif, yaitu bahwa globalisasi hanya menguntungkan mereka yang sudah lebih dahulu kuat secara ekonomi dan punya infrastruktur untuk melanggengkan dominasi ekonominya, sementara negara yang terbelakang hanya merasakan dampak positif globalisasi yang artifisial, namun sebenarnya tetap ditinggalkan. Sebagian yang lainnya tetap optimis dengan cita-cita hakiki globalisasi dan yakin bahwa tata manusia yang setara di muka bumi ini akan terwujud suatu saat nanti dengan upaya-upaya membangun kebersatuan sebagai sesama penghuni bola-dunia.

Nampaknya, apapun esensi perdebatannya, yang ada di depan mata adalah berjalannya proses globalisasi di hampir segala bidang tanpa bisa dihentikan.

Indonesia peringkat Lima Dunia penggunaan Internet

Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan dalam beberapa dekade terakhir perkembangan teknologi informasi semakin tumbuh di Tnah Air. Bahkan Indonesia kini menduduki predikat kelima pengguna internet terbesar di dunia.

Sekretaris Jenderal Kemeninfo, Joko Agun Hariadi, Senin (6/9) mengatakan kemajuan di bidang penggunaan internet di tanah air semakin tumbuh. "Ini berarti, masyarakat Indonesia semakin meminanti dunia internet untuk mangakses segala informasi yang ada," katanya.

Ia mengatakan, Indonesia mencatat prestasi sebagai negara pengguna kelima di dunia diatas dari negara China pada urutan pertama, India kedua, Jepang dan Korea. Pengguna internet mobile atau internet menggunakan ponsel di Indonesia diperkirakan telah mencapai 40 juta atau sekitar 10,5 persen dari pelanggan layanan seluler.

"Masyarakat moderen saat ini semakin meminati fasilitas internet untuk mengakses segala bentuk informasi. Makanya, pemerintah pun langsung membuat produk Undang-Undang tentang ITE untuk memberikan jaminan hukum bagi pengguna internet ini," jelasnya.

Ia memprediksi pada lima tahun yang akan datang, pengguna internet ini akan semakin tinggi, apalagi penggunaan internet pun bisa diakses melalui ponsel. Menurut laporan Internetworldstats (IWS), kata dia, pada tahun 2000 lalu pengguna internet di Indonesia diperkirakan sebesar 2 juta orang, sedangkan sampai akhir 2009, angkanya telah meningkat menjadi sekitar 30 juta pengguna.

Artinya, kata dia, dalam kurun waktu tersebut, pengguna internet di Indonesia tumbuh sebesar 1.150 persen. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang sampai 30 September 2009 diperkirakan mencapai 240,2 juta, berarti penetrasi internet telah mencapai 12,5 persen dari populasi.

Dibandingkan dengan total pengguna internet di seluruh Asia, kata dia, maka Indonesia menguasai 4,1 persen pengguna internet di Asia. Saat ini, kata Joko, Indonesia sendiri ada di posisi ke 5 sebagai negara dengan pengguna internet terbanyak. Posisnya ada di belakang China yang berada di peringkat pertama (338 juta pengguna), Jepang (94 juta), India (81 juta), Korea Selatan (37,5 juta). (Ant/OL-04)

Status Pengkajian, Pemanfaatan dan Pengembangan di Indonesia

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir teknologi “hyperspectral remote sensing” telah berkembang pesat di negara-negara maju dan juga negara yang mempunyai iklim monsoon seperti Jepang, Korea, maupun Cina. Bagi Indonesia, teknologi ini masih relatif baru dan penerapannya masih sangat sedikit. Sebagai negeri yang berbasis pertanian atau masih bersandar pada sektor pertanian, teknologi ini sangat menjanjikan untuk membantu krisis informasi seputar pangan atau bisa juga dikatakan krusial untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.

BPPT, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan pengkajian dan penerapan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional telah memilih teknologi hiperspektral sebagai salah satu teknologi lanjutan (frontier) untuk diuji-kaji, dikembangkan, dan selanjutnya diaplikasikan di Indonesia. BPPT telah melakukan kerja sama dengan beberapa institusi riset di luar negeri dalam bidang teknologi hiperspektral. Pada tahun 2005-2006, BPPT telah bekerja sama dengan institusi di Belgia dalam melakukan uji-kaji dan aplikasi teknologi hiperspektral untuk pemantauan kondisi terumbu karang di Pulau Fordate, Nusa Tenggara Barat. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini memperlihatkan bahwa teknologi hiperspektral dapat memantau kondisi terumbu karang secara lebih akurat, dibandingkan dengan menggunakan sistem multispektral.

Pada Desember 2007 BPPT juga telah melakukan penandatanganan MoU dengan Earth Remote Sensing Data Analysis Center (ERSDAC) Jepang dalam kegiatan kerja sama “Research Project of Hyperspectral Technology for Agricultural Application in Indonesia (HyperSRI Project)”. Kerja sama ini disepakati selama 3 tahun. Tujuan utama dari kerjasama ini adalah mengkaji, mengembangkan metode/algoritma untuk memantau pertumbuhan tanaman padi, serta membangun model prediksi produksi padi. Untuk pelaksanaan kegiatan HyperSRI ini, BPPT juga bekerja sama dengan institusi di dalam negeri, seperti LAPAN, Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Masyarakat Pengindraan Jauh Indonesia (MAPIN), serta Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Subang yang dipilih sebagai lokasi kegiatan.

Hasil kegiatan HyperSRI ini sangat strategis karena akan digunakan sebagai salah satu rekomendasi kepada Pemerintah Jepang (dalam hal ini Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri) mengenai kelayakan rencana peluncuran satelit baru Jepang dengan sensor hiperspektral pada tahun 2011. Keuntungan untuk Indonesia jika Jepang meluncurkan satelit baru tersebut adalah fase operasional dari model prediksi produktivitas padi nasional yang dibangun pada kegiatan HyperSRI ini dapat menggunakan data satelit tersebut dalam kerangka kerja sama dan harganya relatif murah dibandingkan dengan satelit lain. Oleh karena itu, sistem pemantauan pertumbuhan padi beserta estimasi produksinya dapat dilakukan secara cepat dan near real time.

Teknologi Hyperspectral Remote Sensing

Teknologi Hiperspektral (hyperspectral remote sensing technology) merupakan suatu paradigma baru dalam dunia pengindraan jauh (remote sensing) dengan memanfaatkan jumlah kanal (channel) yang berlebih (hyper) sehingga pengguna akan mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan aplikasi sesuai dengan kebutuhan, khususnya dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem multispektral dengan keterbatasan jumlah kanal, yang selama ini digunakan. Secara definisi teknologi hiperspektral merupakan cara memperoleh gambaran kondisi di permukaan bumi secara simultan dengan jumlah band/kanal yang banyak (lebih dari 200) serta menggunakan panjang gelombang yang sempit (narrow band) dan saling berdekatan (Evri, M. et. al., 2004)

Ada banyak satelit yang memiliki sensor hiperspektral yang sudah dapat digunakan, misalnya data satelit Hyperion milik Amerika Serikat (terdiri atas 220 kanal dengan rentang panjang gelombang 400 nm - 2500 nm), data satelit CHRIS/Proba milik Eropa, serta jenis airborne seperti sensor (CASI, HYMAP) yang juga sudah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi. Gambar 1 memperlihatkan contoh aplikasi teknologi hiperspektral dengan menggunakan pesawat udara (airborne) yang sedang dikaji-terap oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (Sadly, et.al., 2004), sedangkan grafik perbandingan karakteristik kanal antara jenis multispektral dan hiperspektral diperlihatkan pada Gambar 2. Dapat dilihat bahwa panjang gelombang dari sistem hiperspektral bersifat kontinu, sempit, dan berdekatan yang memungkinkan untuk mendeteksi objek-objek di permukaan bumi secara kontinu dan lebih detail/terperinci dibandingkan dengan sistem multispektral yang selama ini digunakan. Gambar 3 menunjukkan contoh studi perbandingan yang dilakukan oleh BPPT dan Universitas Gifu, Jepang antara jenis foto udara, sistem multispektral, dan sistem hiperspektral yang digunakan dalam mendeteksi/mengklasifikasi tutupan lahan (tanaman padi). Terlihat bahwa dengan teknologi hiperspektral klasifikasi tanaman padi dapat dilakukan lebih detail dan mampu membedakan jenis tanaman padi serta kondisinya lebih baik dan terperinci dibandingkan dengan menggunakan foto udara dan sistem multispektral yang selama ini digunakan.

Pemanfaatan data pengindraan jauh hiperspektral yang dapat diperoleh secara periodik dan berkesinambungan dapat menjaga kontinuitas penyediaan informasi yang lebih akurat tentang ketersediaan sumber daya pertanian dan karakteristiknya seperti sebaran dan luas lahan sawah, informasi kondisi tanaman padi dalam waktu yang singkat untuk lahan pertanian yang luas, potensi produksi, kerawanannya terhadap pengaruh iklim atau bencana kekeringan, dan pendugaan produksi yang akan dipanen.

Kesenjangan Digital

Kesenjangan digital atau digital divide, merupakan kesenjangan antara komunitas yang efektif mengakses informasi melalui teknologi digital dan yang tidak dapat mengakses informasi secara digital. Hal ini termasuk adanya ketidak seimbangan Sumber Daya Manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses informasi yang berupa digital tersebut.

Hal ini dapat terjadi tergantung pada keadaan Negara itu sendiri, bisa dipengaruhi poleksosbudhankam yang ada di Negara itu. Keadaan ekonomi Negara jelas mempengaruhi adanya teknologi. Prioritas mana yang diperhatikan oleh pemerintah juga merupakan faktor yang mempengaruhi adanya kesenjangan digital di suatu Negara.

Sesuai dengan keadaan ekonomi yang sedang dialami bangsa ini, tentu saja kesenjangan digital merupakan hal yang dapat ditemui disini. Kurangnya penyebar luasan jaringan Internet misalnya, masih terjadi tidak hanya di kota kecil tetapi di kota besar pun masih ada beberapa bagian yang tidak dapat mengakses saluran Internet. Kota besar tidak mencakup keseluruhan bagaimana dengan kota kecil? Tentu sangat jelas masih belum semua terjangkau teknologi, terutama Internet. Dengan adanya hal tersebut tidak semua masyarakat Indonesia dapat mengakses informasi yang dibutuhkan melalui internet.

Solusinya, pemerintah harus sadar betul pentingnya teknologi bagi Negara ini. Tetapi selain adanya teknologi itu sendiri, pemerintah juga harus mensosialisasikan bagaimana cara menggunakan teknologi tersebut. Akan percuma teknologi yang canggih digunakan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggunakanya.

Menurut apa yang kami dapat, orang tidak perlu membayar mahal untuk mendapatkan akses Internet. Berdasarkan apa yang ditulis oleh Onno W. Purbo bahwa sebenarnya akses Internet amat sangat murah. Beliau mengungkapkan pada kecepatan 64Kbps dengan iuran Rp. 100- Rp. 500 per bulan per orang selama 24 jam sehari. Dengan adanya fakta seperti ini seharusnya pemerintah dapat membuka mata lebih lebar lagi dan menyediakan fasilitas Internet bagi masyarakatnya.

Infrastuktur Internet di Indonesia

Infrastruktur Internet di Indonesia semakin banyak seiring dengan majunya teknologi yang dialami oleh bangsa ini. Harga masing-masing provider bersaing demi mendapatkan keuntungan.

Untuk kualitas dapat dikatakan tidak semua provider Internet di Indonesia memiliki kualitas yang baik, apalagi jika dibandingkan dengan Negara-negara lain. Kelemahan-kelemahan yang ditemui antara lain koneksi yang lamban, teknisi yang tidak memadai jika terjadi kerusakan sehingga penanganan tidak dapat segera diatasi, customer service yang tidak dapat memenuhi permintaan pelanggan.

Jika dihubungkan dengan harga, harga untuk infrastruktur Internet di Indonesia masih terbilang cukup mahal tidak sebanding dengan kualitas yang diberikan. Koneksi saat ini yang terdiri atas dial-up, cable, adsl masih relatif cukup mahal atau tidak dapat dikonsumsi oleh semua orang.

Jaringan yang diberikan pun tidak diberlakukan secara merata atau hanya terdapat pada bagian-bagian Indonesia tertentu. Daerah-daerah terpencil masih sangat jarang yang dapat mengakses jalur komunikasi dengan menggunakan Internet. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak adanya campur tangan pemerintah dalam menangani telekomunikasi dengan media Internet.